Wednesday, September 21, 2011

Rise of the Planet of the Apes (Rupert Wyatt, 2011)


Chimp-antasticalifragilisticexpialidocious
Walaupun gak setenar franchise lain semacam Harry Potter dan  Batman, namun Planet of the Apes sempat nelurin 4 sekuel dan 1 remake yang cukup berhasil, meski dari segi kualitas hanya film pertamanya dan Escape From the Planet of the Apes yang mendapat sambutan hangat. Ngeliat reputasi para sekuelnya yang ancur-ancuran, maka gak salah kalo banyak orang yang duluan skeptis sama versi reboot-nya ini. Apa lagi, ngeliat castnya, satu-satunya bintang besar yang familiar di kalangan penonton awam cuma James Franco aja. Selain itu,  konsep ceritanya sendiri  yang agak cheesy emang cocok buat ngebikin ilfil para film snobsduluan. Alhasil, cuma sedikit orang yang percaya kalo film ini bisa berhasil. EIts, tapi apakah lo termasuk salah satu dari mereka itu? Gue sih enggak hihihi.

Rise of the Planet of the Apes (RotPotA) mencoba untuk membuat suatu legacy baru dengan menjadikan film pertamanya ini sebagai intro dari serial yang hendak dibangunnya. Jika Planet of the Apes, bercerita tentang derajat kera dan manusia yang berubah 180 derajat. Maka, RotPotA mencoba untuk  menceritakan awal mula invasi kera tersebut. Seperti standardnya film-film Hollywood, maka segala sesuatu yang aneh dan gak biasa, pasti bisa langsung disimpulin dengan adanya cairan ajaib hasil penemuan laboratorium bertahun-tahun. Klise banget yah?
Alkisah Will Rodman (James Franco) adalah seorang ilmuwan yang menjadi bintang di perusahaan tempatnya bekerja, Gen-Sys. Karena reputasinya itu, ia kemudian dipercaya untuk menangani suatu penelitian tentang obat Alzheimer yang diberi kode ALZ-112. Obat tersebut kemudian dites kepada beberapa simpanse percobaan. Karena suatu tragedi yang menimpanya, doi terpaksa harus merawat seekor simpanse percobaan jantan dari labnya. Walaupun baru berumur 1 hari, tapi simpanse yang bernama Caesar (Andy Serkis) ini menunjukkan progress intelegensi yang luar biasa hebat.Will gak bakal menyangka, kalo simpanse adopsinya itu akan jadi awal dari sesuatu yang besar…
  
Well, statement Rupert Wyatt, sang sutradara yang bilang kalo RotPotA bakalan di-reboot­ layaknya Batman Begins emang terbukti gak cuma omdo. Dengan berbagai sekuelnya yang lebih mengarah ke genre sci-fi action murni. RotPotA mencoba untuk mengemas cerita ini menjadi lebih berkelas dan dramatis. Buat lo yang berharap kalo film ini bakalan full action dan penuh dengan ledakan, wah lo salah tempat bro, mending nonton Transformers aja. Di film ini, Wyatt memilih untuk membangun ketegangan dengan alur yang agak lambat. Bahkan, bisa dibilang sebagian dari film ini malah difokuskan pada hubungan Caesar dan Rodman. Ini sebenernya merupakan suatu keputusan yang cukup berani, mengingat Planet of the Apes bukanlah franchise yang terkenal dari segi dramanya. Alur yang lambat bukan berarti bertele-tele loh. RotPotA memanfaatkan durasinya tersebut untuk membangun karakter setiap tokoh-tokohnya dan membuat para penonton menjadi merasa dekat dengan karakternya, sebelum nantinya adrenalin penonton dipompa lewat klimaks ceritanya yang dashyat.
Penokohan yang ciamik juga menjadi salah satu kekuatan dari film ini. Konsep memanusiakan kera yang diwakilkan dalam tokoh Caesar, dibuat serealistis mungkin. Dari awal, kita pelan-pelan diajak untuk mengenal Caesar dalam mengalami masa-masa pertumbuhan dan masa-masa pemberontakannya. Karena karakternya yang dirajut secara detail, Caesar yang sebenernya punya tampilan biasa aja, jadi keliatan istimewa karena ada ‘sesuatu’ di dalam karakternya. Walaupun cuma berbalut rambut dan kulit saja, keperkasaan Caesar sudah berhasil bikin kami semua teriak “HEELLL YEEAAHHH!” di salah satu adegan klimaksnya. Pengen kaya gitu juga ? Nonton dulu aja di bioskop!
karena keperkasaan Caesar dan filmnya yang bikin gue jadi pencinta binatang,  film ini kami beri rating 4 Simpanse Melet!

Tulisan ini juga dimuat di provoke-online.com

Wednesday, March 23, 2011

The Life and Death of a Porno Gang (Mladen Djordjevic, 2009)

Ada apa dengan Serbia ? Setelah tahun lalu saya dikejutkan dengan sebuah karya visual yang brutal dan memilukan berjudul A Serbian Film, tahun ini saya mendapatkan kembali sebuah film serupa yang memiliki karakteristik yang sama, The Life and Death of a Porno Gang. Porno Gang sebenarnya sudah dirilis terlebih dahulu pada tahun 2009, namun dikarenakan konten ceritanya yang terlalu eksplisit, maka film ini tidak dirilis diluar Serbia, dan baru dapat dinikmati di awal tahun ini, itupun lewat akses dunia maya saja. Secara garis besar, Porno Gang bisa disebutkan sebagai kakak dari Serbian Movie, keduanya mengusung tema yang sama, tentang seorang pria gagal yang dihadapkan pada tawaran menggiurkan untuk membuat sebuah film snuff

Porno Gang sendiri merupakan sekumpulan anak muda yang berkeliling Serbia untuk mementaskan sebuah aksi teatrikal yang mencampurkan pornografi dan isu - isu sosial di dalamnya. Ide ini dicetuskan oleh Marko (Mihajlo Jovanovic), seorang lulusan fakultas perfilman yang dihadapkan pada kenyataan bahwa mimpinya menjadi sutradara besar terancam gagal karena tidak ada produser yang mau membiayai filmnya. Pertemuannya dengan Cane (Spencer Gray) menjadi pintu masuk baginya ke dalam industri film porno di Belgrade. Tak puas hanya menjadi kameramen untuk film - film porno picisan, ia pun menggagas ide untuk membuat suatu pentas teater porno pertama di dunia.

Dari situlah Porno Gang pertama kali terbentuk, dengan Marko sebagai pemimpin, dan beberapa teman serta aktor - aktor porno sebagai anggotanya. Pertunjukan teater porno ini tidak berlangsung lama. Cane yang marah karena aktornya dicuri oleh Marko, memanfaatkan adiknya yang juga seorang polisi, untuk membubarkan pertunjukannya, Marko dan anggota Porno Gang yang lain kemudian memutuskan kabur dari Belgrade, dan berkeliling Serbia, mengadakan pentas di desa - desa kecil disana, dengan harapan dapat meraih sukses dari situ. Seperti yang sudah diduga, para penduduk bereaksi sangatlah negatif. Ketika kehidupan mereka mulai menjadi semakin berantakan, seorang produser film snuff dari Jerman datang ke pemukiman mereka, dan menawarkan suatu proyek menggiurkan yang akan mengubah kehidupan mereka...

Saya pertama kali mendengar film in ketika A Serbian Film sedang gencar - gencarnya dibahas dalam berbagai media. Kesamaaan ide cerita dan plot membuat saya kemudian tertarik untuk menonton film ini. Kedua film ini sama - sama menjual eksploitasi dan kekerasan, namun berbeda dengan A Serbian Film yang cenderung lebih serius, Porno Gang memiliki atmosfer cerita yang cenderung lebih ringan dan cerita yang lebih variatif ketimbang saudara mudanya itu. Mladen Djordjevic menceritakan Porno Gang lewat gaya visual ala dokumenter dengan Marko sebagai sosok utama, pada awalnya. Lewat pembukanya, Marko memaparkan ide untuk mendokumentasikan hidupnya di depan kamera, tanpa tahu kemana arah hidupnya nanti. Gaya visual seperti ini sendiri sebenarnya tidak terlalu saya sukai, terutama karena mengingatkan saya pada film - film horror serta eksploitasi amatir yang membosankan. Tapi di film ini, keputusan Djordjevic termasuk tepat. lewat gaya seperti ini, saya seakan - akan terbawa masuk ke dalam kehidupan para Porno Gang sendiri, sehingga ikut bersimpati dengan kondisi mereka.  Pada adegan yang brutal dan eksplisit, bagian yang "dijual" oleh Porno Gang untuk menarik perhatian para pencinta film, Djordjevic, diluar dugaan saya, mengolah semua adegan tersebut dengan lebih "sopan", walaupun nuansa eksploitasinya sendiri tetap kental. Hal ini yang membuat saya justru merasa kasihan dan miris ketimbang jijik ketika melihat adegan - adegan tersebut.

Porno Gang mengangkat (atau lebih tepatnya, menjatuhkan) emosi penontonnya secara perlahan - lahan. Dibuka dengan nuansa yang cenderung ringan dan menghibur, Djordjevic mengisi adegan - adegan pada bagian tersebut dengan sisipan adegan konyol yang menarik, dalam satu adegan, Marko bahkan bercita- cita ingin membuat sebuah film artsy tentang pemuda yang bersetubuh dengan bumi, menghasilkan "anak" sebatang tanaman berbentuk aneh, yang ketika dikonsumsi dapat mengubah manusia menjadi zombie berliurkan sperma. Satu hal yang menarik adalah Djordjevic memberikan setiap warna yang berbeda  - beda pada anggota Porno Gang, dan memberikan ruang bagi mereka yang berkembang. Hal ini yang membuat saya merasa dekat dan bersimpati dengan kejadian yang menimpa mereka. Kedekatan emosional juga yang membuat film ini menjadi terasa begitu depresif ketika mencapai bagian akhirnya.

Porno Gang dapat dilihat sebagai suatu kisah pergolakan antara idealisme dan uang. Marko, yang pada awalnya begitu bersemangat untuk membuat suatu terobosan, melahirkan sebuah konsep seni baru yang lahir dari hasrat dan kecintaannya akan dunia seni tersebut. Namun, ketika masalah mulai datang menerpa, ia pun memutuskan untuk mengambil sampingan, membuat film snuff, menjual kematian kepada kliennya, dengan bayaran yang jauh lebih besar. Apa yang mulanya hanya sekedar sampingan, justru menjadi lebih dari sekedar itu. The Life and Death of Porno Gang mungkin dipasarkan sebagai sebuah film eksploitasi, namun bagi mereka yang mengharapkan akan mendapat "hiburan" yang sama dengan A Serbian Film, mungkin akan kecewa, karena Porno Gang terasa lebih sopan dan halus. namun jika mau dibandingkan, bagi saya, The Life and Death of Porno Gang jauh lebih komplit dan menyayat ketimbang adiknya tersebut.





Friday, March 18, 2011

Yours Truly (Elvira Kusno & Ian Salim, 2011)

Akhir - akhir ini, timeline twitter saya dipenuhi oleh berbagai post yang memuji film pendek bergenre horror/thriller ini. Dan ketika menontonnya, saya jadi tahu kenapa. Yours Truly menceritakan tentang Todi (Todi Pandapotan), seorang introvert yang uniknya bekerja sebagai kurir bunga yang seringkali menyanyikan lagu pesanan klien untuk pasangannya. Suatu hari, ia mendapat tugas untuk mengantarkan bunga kepada seorang wanita cantik bernama Kyla (Kyla Pisita White). Pertemuannya dengan Kyla ini akan menjadi pertemuan yang tidak akan ia lupakan sepanjang hidupnya.


YOURS TRULY - Short Film from Cine et Cetera on Vimeo.

Monday, March 7, 2011

Late Bloomer (Go Shibata, 2004)

Late Bloomer adalah film indie karya sutradara muda Jepang, Go Shibata. Film ini merupakan karya keduanya setelah NN-891102 di tahun 1999. Walaupun dirilis pada tahun 2004 dan sudah ditayangkan di beberapa festival film di dunia, film ini baru menarik perhatian banyak orang setelah Roger Ebert menulis resensi film ini pada situsnya, dan memberikan 3 bintang, sebuah rating yang cukup baik mengingat ia dikenal tidak terlalu tertarik dengan film indie semacam ini. Pada Akhir Maret 2009 kemarin, film ini resmi dirilis dalam bentuk dvd untuk region 1 oleh perusahaan Bone House Asia. Hal ini juga yang membuat nama Late Bloomer baru terdengar pada tahun ini.

Late Bloomer merupakan sebuah film yang mengupas sisi emosional seorang penyandang cacat dari sudut pandang yang tidak biasa. Film ini menceritakan tentang Sumida (Masakiyo Sumida) seorang penyandang cacat total yang selalu bepergian menggunakan kursi roda elektrik, dan harus menggunakan mesin untuk berkomunikasi dengan orang lain. Namun, berbeda dengan penggambaran tokoh cacat pada umumnya, Sumida tidak dikucilkan dan rendah diri. Ia berteman dekat dengan seorang vokalis band underground, Take (Naozo Hotta), yang selalu mengajaknya minum bir bersama dan berpesta bersama teman – teman mereka yang lain. Selain itu, Sumida juga gemar menonton film porno layaknya pria normal biasa. Semuanya tampak baik – baik saja dalam kehidupan Sumida sampai muncul seorang mahasiswi bernama Nobuko (Mari Torii) yang ikut membantu merawat Sumida di rumahnya. Ia jatuh cinta dengan Nobuko, namun Nobuko terlihat lebih tertarik dengan Take. Rasa cemburu yang begitu dalam menyebabkan Sumida memberontak dan menjadi pribadi yang lebih kelam. Dari situlah semuanya mulai berubah...

Banyak yang membanding – bandingkan film ini dengan film Tetsuo karya Shinya Tsukamoto. Memang, keduanya memiliki kemiripan, mereka dikemas dalam bentuk visual hitam dan putih, dan menggunakan musik techno sebagai latarnya. Namun, berbeda dengan Tetsuo yang lebih bersifat absurd dan eksperimental. Late Bloomer lebih merupakan sebuah studi karakter tentang sisi emosional seorang penyandang cacat. Go Shibata seperti ingin kembali membentuk persepsi masyarakat yang sudah diracuni dengan berbagai macam film komersil, yang biasanya menaruh tokoh penyandang cacat sebagai tokoh yang perlu dikasihani dan diperlakukan istimewa. Dalam film ini, Sumida digambarkan sama dengan manusia normal biasa, ia punya ‘kebutuhan’ dan bisa bersenang – senang, dan pada akhirnya ia juga sama berbahayanya seperti manusia lainnya.

Salah satu keunikan dan daya tarik dari film ini adalah penggunaan aktor penyandang cacat, Masakiyo Sumida untuk tokoh utamanya. Kehadiran Sumida sebagai karakter utama membuat Late Bloomer menjadi terasa lebih nyata dan mencekam. Selain itu, keputusan ini dirasa sangatlah tepat mengingat jika film ini memakai aktor lain sebagai Sumida, belum tentu efek kejut dan daya tarik akan sehebat ini.

Berangkat dari semangat untuk mendobrak persepsi yang ada, Late Bloomer tampil sebagai film horor/ thriller yang unik dan menarik. Dengan teknik visual dan musik latar yang agak ‘nyeleneh’, film ini tentu saja dapat menjadi alternatif lain bagi mereka yang sudah bosan dengan film – film mainstream yang temanya semakin lama semakin membosankan.


Thursday, March 3, 2011

The House of the Devil (Ti West, 2009)

Thanks to Mr. Tarantino & Mr. Rodriguez, film horror bergaya grindhouse beberapa tahun belakangan ini mulai kembali digemari oleh para penggemar film di seluruh dunia. Entah terinspirasi atau tidak, sutradara muda Ti West (Cabin Fever 2. The Roost) ikut meluncurkan sebuah karya horror yang bisa dibilang sebagai tribute dari masa kejayaan horor Amerika di era 80an, lengkap dengan atribut-atributnya yang khas. Pada era 80an sendiri, terdapat masa-masa dimana isu tentang kelompok pemuja setan menjadi sebuah isu yang booming di masyarakat Amerika. Isu inilah yang dipilih untuk diangkat sebagai dasar cerita dari The House of the Devil (THotD). 

Samantha (Jocelyn Donahue) baru saja menemukan tempat tinggal idamannya. Sebuah rumah berukuran cukup besar dengan fasilitas memadai dan harga yang terjangkau untuk kantong mahasiswa seumurannya. Si pemilik rumah sendiri bahkan memberikan kemudahan pembayaran baginya asalkan ia bisa memberikan uang sewa untuk bulan ini pada hari senin depan. Masalahnya, di tabungan Samantha hanya tersisa sekitar $80, dan hari senin tinggal sebentar lagi. Terdesak oleh masalah keuangan tersebut, Samantha lalu memutuskan untuk mencoba lowongan sebagai babysitter, berkat selebaran yang didapatkannya dari sekitar kampus. Kesan pertama dengan si pencari babysitter sudah terasa aneh dan tidak mengenakkan. Ia meminta Samantha pada hari itu juga bertemu dengannya di depan salah satu gedung kampus, namun pria bersuara halus tersebut tidak kunjung datang. Keesokan harinya, pria tadi kembali mengirim pesan untuk Samantha, ia meminta maaf dan memintanya untuk datang ke rumahnya malam itu juga.

Malam itu bertepatan dengan gerhana bulan total. Samantha, ditemani oleh teman dekatnya, Megan (Greta Gerwig), datang ke rumah si penelpon tadi. Rumah berukuran besar yang terletak di tengah - tengah hutan tersebut terasa misterius dan mengerikan. Pemilik rumah tersebut ternyata adalah pasangan suami istri separuh baya, Mr. dan Mrs. Ulman (Tom Noonan dan Mary Woronov), dan mereka tidak punya bayi sama sekali. Yang harus dijaga oleh Samantha adalah ibu mereka. Awalnya Samantha ragu - ragu, namun iming-iming upah 4x lipat terasa begitu berat untuk diabaikan, ia pun menerima tawaran itu. Sebuah keputusan besar yang nantinya pasti akan selalu disesali olehnya.

The House of the Devil; dari judulnya saja kita pasti sudah bisa menebak apa yang akan dihadapi oleh Samantha di film ini, sebuah rumah yang berisi para pemuja setan. Awalnya saya mengira film ini akan menjadi seperti film - film horor kelas 2 kebanyakan, to the point, tanpa basa basi, dan dipenuhi dengan bergalon - galon darah. Tidak ada yang baru dari segi ceritanya, dan THotD tampaknya memahami kelemahannya itu Karenanya, Ti West benar - benar memanfaatkan persepsi dan sugesti yang sudah tertanam dalam penontonnya lewat bangunan ceritanya yang luar biasa intens dan detail. Ketika Samantha berada dalam kesendiriannya, bersama dengan "ibu" yang berada di lantai atas, saya mulai mereka - reka apa yang akan terjadi dengan Samantha. Karena itu, setiap suara langkah kaki, derit pintu dan lantai kayu, dan keheningan yang tertangkap, saya pun sudah mulai mengantisipasi dan membuat gambaran tentang apa yang terjadi di rumah itu, walaupun secara visual, tidak ada yang terjadi pada layar kaca. Sayangnya proses build up menuju klimaks yang sudah dibangun dengan perlahan ini tidak diimbangi dengan klimaks yang memuaskan, bahkan cenderung mengecewakan.  Setelah menghabiskan lebih dari separuh durasi untuk membangun klimaksnya, apa yang dipaparkan terasa terlalu biasa. Dan, ketika film ini sudah mencapai endingnya, saya pun sudah tidak tertarik lagi dengan apapun yang terjadi di dalamnya.

Gimmick yang ditawarkan oleh THotD sendiri adalah nuansa di era 80annya. dan Ti West berhasil mereplikasi aura dan atmosfer 80an tersebut ke dalam audio dan visual dalam film ini. Ada perasaan nostalgia ketika menyaksikan opening title-nya yang sederhana dengan iringan musik synthesizer  yang picisan tersebut. Detail - detail kecil seperti walkman yang selalu dibawa Samantha serta gaya rambutnya yang khas itu juga membuat film ini terasa lebih menarik. Gimmick 80an ini tampaknya tidak hanya terpapar dalam filmnya saja, namun juga di item - item pendukung seperti teaser, trailer, serta poster - poster publikasinya. Bahkan, THotD  kabarnya juga tersedia dalam bentuk kaset VHS.

Mereka yang mengharapkan THotD sebagai sebuah horor picisan yang penuh aksi mungkin akan kecewa. Keunggulan yang ditawarkan dalam film ini justru terletak pada proses pembangunan ceritanya yang dikemas secara perlahan dan detail tersebut. Walaupun bagian akhir filmnya akan mengecewakan banyak penonton, namun sebagai film horor, THotD tetaplah sebuah film yang menarik dan unik, terutama bagi mereka yang merindukan masa - masa keemasan dunia horor era 80an.







Friday, February 25, 2011

The Boxer / Bokusā (Shuji Terayama, 1977)

Saya pertama kali mengenal Shuji Terayama lewat karya fenomenalnya, Throw Away Your Book, Rally in the Streets. Lewat karyanya itu, saya dibuat kagum dengan permainan visual dan narasi yang luar biasa indah sekaligus unik. Gayanya yang cenderung playful dan eksperimental inilah yang kemudian membuat saya tertarik untuk mengenal lebih jaul tentang salah satu legenda Jepang ini. Ditengah kegemarannya “bermain-main” dalam dunia teater, literatur, fotografi dan film, tidak banyak yang mengetahui Shuji Terayama adalah seorang penggemar berat olahraga tinju. Kegemarannya inilah yang kemudian dituangkan olehnya lewat satu-satunya film mainstream yang pernah dibuatnya, The Boxer.

Layaknya sebuah kisah klise tentang perjuangan seseorang from zero to hero, film ini menceritakan tentang seorang mantan petinju, Hayato (Bunta Sugawara) dan hubungannya dengan anak didiknya, Tenma (Kentaro Shimizu) dalam perjalanannya meraih kesuksesan. Hubungan antara Tenma dan Hayato terbilang unik, Tenma yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang bangunan, suatu hari dikejutkan dengan berita bahwa gadis yang dicintainya memutuskan untuk menikahi rekan sekerjanya, yang juga merupakan adik dari Hayato. Ditengah kegalauannya itu, Tenma tanpa sengaja membunuh teman kerjanya itu. Hayato, dipenuhi dengan rasa amarah dan ingin balas dendam, mendatangi sasana tempat Tenma berlatih, dan menantangnya berkelahi. Tenma hanya diam saja, dan bersumpah bahwa kejadian itu hanyalah sebuah kecelakaan.

Beberapa hari kemudian, Tenma menjalani pertarungan penting melawan seorang petinju amatir. Dikarenakan kondisi fisik kakinya yang memiliki kelainan, Tenma kalah telak dan babak belur. Hal tersebut diperparah dengan keputusan pemilik sasana untuk mengeluarkan Tenma. Karena putus asa, Tenma lalu mengambil langkah "gila" dan mendatangi Hayato untuk meminta mantan petinju itu untuk melatihnya. Hayato geram, namun setelah berpikir panjang ia pun memutuskan untuk melatih Tenma.

Dibandingkan dengan film-filmnya yang lain, The Boxer memang jauh dari kesan surreal dan eksperimental. Lewat gaya penceritaan ala Hollywood, Shuji Terayama membawa kita dalam dunia adu jotos yang dingin dan kejam tersebut. Namun jangan membayangkan film ini seperti Raging Bull atau Million Dollar Baby. Saya lebih suka membandingkan The Boxer setipe dengan film hiburan semacam Rocky atau Karate Kid, tentu saja dengan sedikit bumbu racikan visual khas Terayama. Walaupun dalam beberapa adegan, Terayama menyisipkan isu - isu sosial yang berhubungan dengan dunia tinju, namun pada dasarnya jalan cerita dalam film ini cukup linear, bahkan cenderung terlalu sederhana. Saya sebenarnya mengharapkan ada porsi lebih tentang isu kematian adik Hayato, namun ternyata isu tersebut menguap ditengah cerita. Akibatnya, yang tersisa dari cerita utama film ini hanyalah proses perjuangan dan latihan Tenma dan Hayato menuju pertarungan utamanya saja, dengan konflik - konflik disekitarnya yang sebenarnya menarik, namun tidak cukup kuat untuk mengangkat kisah film ini.

Sebenarnya cerita "pecundang berubah menjadi pahlawan" ini akan lebih menarik jika saja The Boxer memiliki karakter - karakter utama yang likeable.Namun, Shuji Terayama nampaknya lebih tertarik untuk menggambarkan karakter yang lebih "nyata" ketimbang menjual mimpi, walaupun pada dasarnya film ini sebenarnya melakukan hal tersebut. Karakter - karakter dalam The Boxer sebagian besar didominasi oleh karakter pecundang yang rasanya sulit untuk diberikan simpati, hal ini jugalah yang membuat saya tidak begitu peduli dengan nasib mereka. Jika dari segi ceritanya tidak ada yang istimewa, maka bisa dibilang film ini terselamatkan berkat gaya visual Shuji Terayama yang indah dan memanjakan mata, dengan sesekali menggunakan visual hitam putih dan filter warna seperti orange dan ungu. Secara khusus, Terayama bahkan memberikan ruang untuk menampilkan ciri khas surreal-nya lewat kehadiran sebuah bar lengkap dengan para pelanggannya yang berkostum "tidak biasa". Adegan - adegan dalam bar itu tak lupa divisualisasikan dengan filter "pelangi" yang juga sering muncul di berbagai filmnya. 

The Boxer terkesan kehilangan arah dan terkesan terburu-buru, terutama ketika menjelang klimaksnya. Hal ini sangatlah disayangkan karena film ini sebenarnya memiliki potensi yang cukup kuat untuk menjadi film yang menarik. Pada akhirnya, The Boxer mungkin bukanlah karya terbaik milik Shuji Terayama. Namun, bagi mereka yang ingin mencicipi terlebih dahulu dan penasaran dengan salah satu legenda dunia seni di Jepang ini, The Boxer mungkin bisa dijadikan salah satu pilihan, sebelum mengarungi lebih dalam dunia Shuji Terayama yang jauh lebih menarik dan istimewa. 

Wednesday, February 9, 2011

Los Bastardos (Amat Escalante, 2008)

Kehidupan para imigran ditengah perjuangannya untuk bertahan hidup di "tanah impian" Amerika Serikat memang selalu menarik untuk diangkat dalam berbagai media. Dalam filmnya yang kedua ini, Amat Escalante mencoba untuk memaparkan gambaran kehidupan dua orang imigran asal Mexico yang dalam kesehariannya menawarkan diri di samping trotoar untuk menunggu pekerjaan yang datang di hari itu. Kali ini, Jesus (Jesus Moires Rodriguez), pria berusia sekitar 30an yang pendiam dan Fausto,  (Ruben Sosa) seorang remaja tanggung, mendapatkan pekerjaan yang berbeda. Hari ini di tas punggung milik Jesus, tersimpan sebuah shotgun hitam untuk pekerjaannya malam nanti.

Dibuka dengan shot statis berdurasi panjang yang secara perlahan menampilkan kedua tokoh utama tersebut, kita kemudian disuguhkan dengan aktivitas para imigran yang menjajakan dirinya untuk mendapatkan perkerjaan di hari itu. Setelah beberapa lama menunggu, Jesus dan Fausto akhirnya mendapatkan panggilan. Mereka dan beberapa imigran lain diminta untuk bekerja di sebuah lahan konstruksi. Setelah bernegosiasi sebentar soal upah per jam mereka, si pemberi kerja pun akhirnya setuju untuk membayar $10 untuk tiap jamnya.. Selesai bekerja, Jesus dan Fausto memutuskan untuk bersantai sebentar di taman kota. Di sana, mereka bertemu dengan sekelompok pemuda mabuk yang mengolok - olok mereka. Fausto sempat emosi dan ingin menghajar mereka, namun Jesus menahannya dan mengingatkan, mereka punya pekerjaan besar nanti malam.

Sampai di situ, fokus film mendadak berubah ke dalam kehidupan sebuah single mother, Karen (Nina Zavarin) dan anak remajanya yang cuek. Sang ibu yang tidak tahu harus berbuat apa menghadapi kelakuan anak laki-lakinya tersebut, bergantung pada kebiasaannya memakai obat-obatan sambil menonton TV hingga tertidur pulas. Ia tak menyadari, dari jendela belakang rumahnya, dua orang pemuda perlahan - lahan masuk untuk menyelesaikan pekerjaannya di malam itu.

Sejak awal kariernya di dunia film, Amat Escalante memang sudah berniat untuk berfokus pada isu imigrasi dalam film - filmnya. Lewat gaya ultra minimalis yang sudah diusungnya dari film pertama, Sangre, sang sutradara tampaknya ingin mencoba untuk membuat suatu rekaan realitas dengan Jesus dan Fausto yang mewakili gambaran perjuangan para imigran untuk dapat hidup sejahtera di "tanah impian" tersebut. Persepsi rakyat Amerika terhadap para imigran yang tingkat ekonominya di bawah rata-rata hampir semuanya sama, mereka memandang para imigran seperti calon pelaku kriminal. Tetapi dalam Los Bastardos, sang sutradara mencoba menggambarkan mereka sebagai manusia yang hanya ingin bertahan hidup, dan bertindak kriminal karena terdesak dengan keadaan. Ketika Jesus dan Fausto menginvasi rumah Karen, hal pertama yang dilakukannya bukan mengambil barang berharga, melainkan mencoba untuk merasakan nikmatnya kehidupan kelas atas dengan memakan makanan mereka, duduk di sofa, berenang di kolam renang mewah, dan juga memainkan videogame sambil menyantap snack milik mereka.

Persepsi menjadi salah satu modal utama sang sutradara untuk menimbulkan kengerian dalam Los Bastardos. Tanpa musik latar, pengambilan gambar yang minim pergerakan dan tempo yang sangat lambat, Amat Escalante seakan - akan ingin membangun momentum secara perlahan, membiarkan para penontonnya menebak-nebak dan di saat mereka lengah, menghantamnya dengan sebuah adegan brutal yang  mengejutkan. Berbeda dengan film - film lain yang biasanya menghias cerita dengan teknik editing, suara dan visual, film ini menghantarkan cerita secara "telanjang" dan dingin. Kebanyakan dialog dilakukan secara spontan, dan hampir tidak ada musik yang mengiringi sepanjang film, yang ada hanya shot - shot minimalis yang dibingkai secara indah. Teknik seperti ini mengingatkan saya dengan film - film karya Michael Haneke dan Bruno Dumont. Gaya dokumenter dengan tempo yang sangat lambat ini mungkin sedikit menyiksa bagi yang belum terbiasa. Namun saya justru merasa gaya seperti ini dirangkai secara efektif untuk membangun ketegangan sebelum klimaksnya yang sangat mengejutkan. Gaya seperti ini pulalah yang membuat Los Bastardos terasa sangat depresif dan dingin.

Ketimbang memberikan pencerahan, Amat Escalante tampaknya lebih tertarik untuk memaparkan realita kehidupan secara gamblang untuk membuka mata kita tentang kondisi sosial di Amerika Serikat yang memprihatinkan.  Aura depresif dan pesimistis yang menyelimut film ini memang terasa begitu pekat sampai di akhir cerita. setelah credit title berputar, Los Bastardos pun seakan - akan seperti memancing para penontonnya untuk merenungi dan bertanya, "siapakah yang sebenarnya bersalah dan harus bertanggung jawab dalam masalah ini ? "