Thanks to Mr. Tarantino & Mr. Rodriguez, film horror bergaya grindhouse beberapa tahun belakangan ini mulai kembali digemari oleh para penggemar film di seluruh dunia. Entah terinspirasi atau tidak, sutradara muda Ti West (Cabin Fever 2. The Roost) ikut meluncurkan sebuah karya horror yang bisa dibilang sebagai tribute dari masa kejayaan horor Amerika di era 80an, lengkap dengan atribut-atributnya yang khas. Pada era 80an sendiri, terdapat masa-masa dimana isu tentang kelompok pemuja setan menjadi sebuah isu yang booming di masyarakat Amerika. Isu inilah yang dipilih untuk diangkat sebagai dasar cerita dari The House of the Devil (THotD).
Samantha (Jocelyn Donahue) baru saja menemukan tempat tinggal idamannya. Sebuah rumah berukuran cukup besar dengan fasilitas memadai dan harga yang terjangkau untuk kantong mahasiswa seumurannya. Si pemilik rumah sendiri bahkan memberikan kemudahan pembayaran baginya asalkan ia bisa memberikan uang sewa untuk bulan ini pada hari senin depan. Masalahnya, di tabungan Samantha hanya tersisa sekitar $80, dan hari senin tinggal sebentar lagi. Terdesak oleh masalah keuangan tersebut, Samantha lalu memutuskan untuk mencoba lowongan sebagai babysitter, berkat selebaran yang didapatkannya dari sekitar kampus. Kesan pertama dengan si pencari babysitter sudah terasa aneh dan tidak mengenakkan. Ia meminta Samantha pada hari itu juga bertemu dengannya di depan salah satu gedung kampus, namun pria bersuara halus tersebut tidak kunjung datang. Keesokan harinya, pria tadi kembali mengirim pesan untuk Samantha, ia meminta maaf dan memintanya untuk datang ke rumahnya malam itu juga.
Malam itu bertepatan dengan gerhana bulan total. Samantha, ditemani oleh teman dekatnya, Megan (Greta Gerwig), datang ke rumah si penelpon tadi. Rumah berukuran besar yang terletak di tengah - tengah hutan tersebut terasa misterius dan mengerikan. Pemilik rumah tersebut ternyata adalah pasangan suami istri separuh baya, Mr. dan Mrs. Ulman (Tom Noonan dan Mary Woronov), dan mereka tidak punya bayi sama sekali. Yang harus dijaga oleh Samantha adalah ibu mereka. Awalnya Samantha ragu - ragu, namun iming-iming upah 4x lipat terasa begitu berat untuk diabaikan, ia pun menerima tawaran itu. Sebuah keputusan besar yang nantinya pasti akan selalu disesali olehnya.
The House of the Devil; dari judulnya saja kita pasti sudah bisa menebak apa yang akan dihadapi oleh Samantha di film ini, sebuah rumah yang berisi para pemuja setan. Awalnya saya mengira film ini akan menjadi seperti film - film horor kelas 2 kebanyakan, to the point, tanpa basa basi, dan dipenuhi dengan bergalon - galon darah. Tidak ada yang baru dari segi ceritanya, dan THotD tampaknya memahami kelemahannya itu Karenanya, Ti West benar - benar memanfaatkan persepsi dan sugesti yang sudah tertanam dalam penontonnya lewat bangunan ceritanya yang luar biasa intens dan detail. Ketika Samantha berada dalam kesendiriannya, bersama dengan "ibu" yang berada di lantai atas, saya mulai mereka - reka apa yang akan terjadi dengan Samantha. Karena itu, setiap suara langkah kaki, derit pintu dan lantai kayu, dan keheningan yang tertangkap, saya pun sudah mulai mengantisipasi dan membuat gambaran tentang apa yang terjadi di rumah itu, walaupun secara visual, tidak ada yang terjadi pada layar kaca. Sayangnya proses build up menuju klimaks yang sudah dibangun dengan perlahan ini tidak diimbangi dengan klimaks yang memuaskan, bahkan cenderung mengecewakan. Setelah menghabiskan lebih dari separuh durasi untuk membangun klimaksnya, apa yang dipaparkan terasa terlalu biasa. Dan, ketika film ini sudah mencapai endingnya, saya pun sudah tidak tertarik lagi dengan apapun yang terjadi di dalamnya.
Gimmick yang ditawarkan oleh THotD sendiri adalah nuansa di era 80annya. dan Ti West berhasil mereplikasi aura dan atmosfer 80an tersebut ke dalam audio dan visual dalam film ini. Ada perasaan nostalgia ketika menyaksikan opening title-nya yang sederhana dengan iringan musik synthesizer yang picisan tersebut. Detail - detail kecil seperti walkman yang selalu dibawa Samantha serta gaya rambutnya yang khas itu juga membuat film ini terasa lebih menarik. Gimmick 80an ini tampaknya tidak hanya terpapar dalam filmnya saja, namun juga di item - item pendukung seperti teaser, trailer, serta poster - poster publikasinya. Bahkan, THotD kabarnya juga tersedia dalam bentuk kaset VHS.
Mereka yang mengharapkan THotD sebagai sebuah horor picisan yang penuh aksi mungkin akan kecewa. Keunggulan yang ditawarkan dalam film ini justru terletak pada proses pembangunan ceritanya yang dikemas secara perlahan dan detail tersebut. Walaupun bagian akhir filmnya akan mengecewakan banyak penonton, namun sebagai film horor, THotD tetaplah sebuah film yang menarik dan unik, terutama bagi mereka yang merindukan masa - masa keemasan dunia horor era 80an.
No comments:
Post a Comment