Showing posts with label asian. Show all posts
Showing posts with label asian. Show all posts

Monday, March 7, 2011

Late Bloomer (Go Shibata, 2004)

Late Bloomer adalah film indie karya sutradara muda Jepang, Go Shibata. Film ini merupakan karya keduanya setelah NN-891102 di tahun 1999. Walaupun dirilis pada tahun 2004 dan sudah ditayangkan di beberapa festival film di dunia, film ini baru menarik perhatian banyak orang setelah Roger Ebert menulis resensi film ini pada situsnya, dan memberikan 3 bintang, sebuah rating yang cukup baik mengingat ia dikenal tidak terlalu tertarik dengan film indie semacam ini. Pada Akhir Maret 2009 kemarin, film ini resmi dirilis dalam bentuk dvd untuk region 1 oleh perusahaan Bone House Asia. Hal ini juga yang membuat nama Late Bloomer baru terdengar pada tahun ini.

Late Bloomer merupakan sebuah film yang mengupas sisi emosional seorang penyandang cacat dari sudut pandang yang tidak biasa. Film ini menceritakan tentang Sumida (Masakiyo Sumida) seorang penyandang cacat total yang selalu bepergian menggunakan kursi roda elektrik, dan harus menggunakan mesin untuk berkomunikasi dengan orang lain. Namun, berbeda dengan penggambaran tokoh cacat pada umumnya, Sumida tidak dikucilkan dan rendah diri. Ia berteman dekat dengan seorang vokalis band underground, Take (Naozo Hotta), yang selalu mengajaknya minum bir bersama dan berpesta bersama teman – teman mereka yang lain. Selain itu, Sumida juga gemar menonton film porno layaknya pria normal biasa. Semuanya tampak baik – baik saja dalam kehidupan Sumida sampai muncul seorang mahasiswi bernama Nobuko (Mari Torii) yang ikut membantu merawat Sumida di rumahnya. Ia jatuh cinta dengan Nobuko, namun Nobuko terlihat lebih tertarik dengan Take. Rasa cemburu yang begitu dalam menyebabkan Sumida memberontak dan menjadi pribadi yang lebih kelam. Dari situlah semuanya mulai berubah...

Banyak yang membanding – bandingkan film ini dengan film Tetsuo karya Shinya Tsukamoto. Memang, keduanya memiliki kemiripan, mereka dikemas dalam bentuk visual hitam dan putih, dan menggunakan musik techno sebagai latarnya. Namun, berbeda dengan Tetsuo yang lebih bersifat absurd dan eksperimental. Late Bloomer lebih merupakan sebuah studi karakter tentang sisi emosional seorang penyandang cacat. Go Shibata seperti ingin kembali membentuk persepsi masyarakat yang sudah diracuni dengan berbagai macam film komersil, yang biasanya menaruh tokoh penyandang cacat sebagai tokoh yang perlu dikasihani dan diperlakukan istimewa. Dalam film ini, Sumida digambarkan sama dengan manusia normal biasa, ia punya ‘kebutuhan’ dan bisa bersenang – senang, dan pada akhirnya ia juga sama berbahayanya seperti manusia lainnya.

Salah satu keunikan dan daya tarik dari film ini adalah penggunaan aktor penyandang cacat, Masakiyo Sumida untuk tokoh utamanya. Kehadiran Sumida sebagai karakter utama membuat Late Bloomer menjadi terasa lebih nyata dan mencekam. Selain itu, keputusan ini dirasa sangatlah tepat mengingat jika film ini memakai aktor lain sebagai Sumida, belum tentu efek kejut dan daya tarik akan sehebat ini.

Berangkat dari semangat untuk mendobrak persepsi yang ada, Late Bloomer tampil sebagai film horor/ thriller yang unik dan menarik. Dengan teknik visual dan musik latar yang agak ‘nyeleneh’, film ini tentu saja dapat menjadi alternatif lain bagi mereka yang sudah bosan dengan film – film mainstream yang temanya semakin lama semakin membosankan.


Friday, February 25, 2011

The Boxer / Bokusā (Shuji Terayama, 1977)

Saya pertama kali mengenal Shuji Terayama lewat karya fenomenalnya, Throw Away Your Book, Rally in the Streets. Lewat karyanya itu, saya dibuat kagum dengan permainan visual dan narasi yang luar biasa indah sekaligus unik. Gayanya yang cenderung playful dan eksperimental inilah yang kemudian membuat saya tertarik untuk mengenal lebih jaul tentang salah satu legenda Jepang ini. Ditengah kegemarannya “bermain-main” dalam dunia teater, literatur, fotografi dan film, tidak banyak yang mengetahui Shuji Terayama adalah seorang penggemar berat olahraga tinju. Kegemarannya inilah yang kemudian dituangkan olehnya lewat satu-satunya film mainstream yang pernah dibuatnya, The Boxer.

Layaknya sebuah kisah klise tentang perjuangan seseorang from zero to hero, film ini menceritakan tentang seorang mantan petinju, Hayato (Bunta Sugawara) dan hubungannya dengan anak didiknya, Tenma (Kentaro Shimizu) dalam perjalanannya meraih kesuksesan. Hubungan antara Tenma dan Hayato terbilang unik, Tenma yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang bangunan, suatu hari dikejutkan dengan berita bahwa gadis yang dicintainya memutuskan untuk menikahi rekan sekerjanya, yang juga merupakan adik dari Hayato. Ditengah kegalauannya itu, Tenma tanpa sengaja membunuh teman kerjanya itu. Hayato, dipenuhi dengan rasa amarah dan ingin balas dendam, mendatangi sasana tempat Tenma berlatih, dan menantangnya berkelahi. Tenma hanya diam saja, dan bersumpah bahwa kejadian itu hanyalah sebuah kecelakaan.

Beberapa hari kemudian, Tenma menjalani pertarungan penting melawan seorang petinju amatir. Dikarenakan kondisi fisik kakinya yang memiliki kelainan, Tenma kalah telak dan babak belur. Hal tersebut diperparah dengan keputusan pemilik sasana untuk mengeluarkan Tenma. Karena putus asa, Tenma lalu mengambil langkah "gila" dan mendatangi Hayato untuk meminta mantan petinju itu untuk melatihnya. Hayato geram, namun setelah berpikir panjang ia pun memutuskan untuk melatih Tenma.

Dibandingkan dengan film-filmnya yang lain, The Boxer memang jauh dari kesan surreal dan eksperimental. Lewat gaya penceritaan ala Hollywood, Shuji Terayama membawa kita dalam dunia adu jotos yang dingin dan kejam tersebut. Namun jangan membayangkan film ini seperti Raging Bull atau Million Dollar Baby. Saya lebih suka membandingkan The Boxer setipe dengan film hiburan semacam Rocky atau Karate Kid, tentu saja dengan sedikit bumbu racikan visual khas Terayama. Walaupun dalam beberapa adegan, Terayama menyisipkan isu - isu sosial yang berhubungan dengan dunia tinju, namun pada dasarnya jalan cerita dalam film ini cukup linear, bahkan cenderung terlalu sederhana. Saya sebenarnya mengharapkan ada porsi lebih tentang isu kematian adik Hayato, namun ternyata isu tersebut menguap ditengah cerita. Akibatnya, yang tersisa dari cerita utama film ini hanyalah proses perjuangan dan latihan Tenma dan Hayato menuju pertarungan utamanya saja, dengan konflik - konflik disekitarnya yang sebenarnya menarik, namun tidak cukup kuat untuk mengangkat kisah film ini.

Sebenarnya cerita "pecundang berubah menjadi pahlawan" ini akan lebih menarik jika saja The Boxer memiliki karakter - karakter utama yang likeable.Namun, Shuji Terayama nampaknya lebih tertarik untuk menggambarkan karakter yang lebih "nyata" ketimbang menjual mimpi, walaupun pada dasarnya film ini sebenarnya melakukan hal tersebut. Karakter - karakter dalam The Boxer sebagian besar didominasi oleh karakter pecundang yang rasanya sulit untuk diberikan simpati, hal ini jugalah yang membuat saya tidak begitu peduli dengan nasib mereka. Jika dari segi ceritanya tidak ada yang istimewa, maka bisa dibilang film ini terselamatkan berkat gaya visual Shuji Terayama yang indah dan memanjakan mata, dengan sesekali menggunakan visual hitam putih dan filter warna seperti orange dan ungu. Secara khusus, Terayama bahkan memberikan ruang untuk menampilkan ciri khas surreal-nya lewat kehadiran sebuah bar lengkap dengan para pelanggannya yang berkostum "tidak biasa". Adegan - adegan dalam bar itu tak lupa divisualisasikan dengan filter "pelangi" yang juga sering muncul di berbagai filmnya. 

The Boxer terkesan kehilangan arah dan terkesan terburu-buru, terutama ketika menjelang klimaksnya. Hal ini sangatlah disayangkan karena film ini sebenarnya memiliki potensi yang cukup kuat untuk menjadi film yang menarik. Pada akhirnya, The Boxer mungkin bukanlah karya terbaik milik Shuji Terayama. Namun, bagi mereka yang ingin mencicipi terlebih dahulu dan penasaran dengan salah satu legenda dunia seni di Jepang ini, The Boxer mungkin bisa dijadikan salah satu pilihan, sebelum mengarungi lebih dalam dunia Shuji Terayama yang jauh lebih menarik dan istimewa. 

Tuesday, February 1, 2011

6 Film Asia yang Mengubah Saya Menjadi Gila Film

Awal mula ketertarikan saya dengan dunia film terjadi ketika saya duduk di bangku SMA. Pada waktu itu, hampir setiap minggu, saya berusaha menghasut teman – teman saya agar menemani ke Glodok, salah satu surga film untuk kantong anak seumuran saya pada waktu itu. Glodok merupakan daerah yang meninggalkan banyak kenangan, di sana saya berkenalan dengan Stanley Kubrick, Danny Boyle, Julio Medem, Quentin Tarantino, Takashi Miike, dan masih banyak lagi. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan, saya menjadi semakin tertarik pada dunia film Asia, terutama film horornya. Kedekatan latar belakang sejarah dan tradisi membuat hati saya lebih mudah tersentuh ketika menonton film dari negara- negara tersebut ketimbang dari daerah Barat. Dalam kesempatan ini, saya ingin membahas beberapa film Asia yang punya andil besar bagi ketertarikan saya itu.  Selamat menikmati dan semoga artikel ini dapat menjadi racun bagi anda yang belum tertarik untuk menikmati film – film asia :)

Suicide Club (Shion Sono, 2001)
Saya masih ingat pengalaman pertama saya dengan film “gila” ini. Waktu itu, saya masih duduk di kelas 2  SMA, dan di tengah berbagai masalah khas anak remaja waktu itu, judul film yang mengandung kata suicide sangatlah menarik perhatian untuk ditonton. Saya sama sekali tidak tahu film ini tentang apa, dan ketika film ini dimulai dengan muncratan darah segar para murid sekolah lewat adegan yang tidak pernah terlintas sedikit pun dalam hati, saya kaget luar biasa. Ketika film ini selesai, hal pertama yang saya lakukan adalah mandi, lalu mulai mencari info tentang film serupa lewat internet.

Ichi The Killer (Takashi Miike, 2001)
Suicide Circle menjadi film sadis pertama yang mengubah pandangan saya terhadap film Jepang. Ichi the Killer adalah yang kedua. Berbekal berbagai adegan brutal di Suicide Club, saya menjadi semakin pede dan tertarik untuk merasakan film – film Jepang lain yang punya efek sama, saya lalu memutuskan untuk menonton Ichi the Killer. Saya mungkin siap dengan segala kebrutalannya, tapi yang tidak saya duga, film ini tidak sedikitpun memberikan  istirahat sama sekali. Rentetan adegan – adegan brutal yang dikemas secara kreatif ini benar – benar jauh lebih gila dari yang saya perkirakan. Bahkan, Kakihara (Tadanobu Asano) sempat menjadi mimpi buruk bagi saya lewat mulut lebarnya yang mirip dengan kisah hantu legenda Jepang tersebut. Selesai menonton, saya langsung penasaran, siapa otak yang bisa membuat film sebrutal ini? Takashi Miike. Sejak saat itu saya menjadi tergila –gila dengan filmnya.

Seri Troublesome Night (1997 - 2002)
Masih ingat ketika RCTI menayangkan film horor dari Hong Kong setiap hari sabtu jam 9 pagi ? Itu adalah waktu favorit bagi saya. Waktu itu sekolah masih memiiliki sistem 6 hari, karena dari itu, setiap kali saya sedang libur, acara tersebut sebisa mungkin tidak pernah saya lewatkan. Dari sekian banyak film horor HK yang ditayangkan, Troublesome Night merupakan film yang paling saya suka. Format horor dicampur komedi ringan ini merupakan format yang sangat pas untuk dijadikan film hiburan menyenangkan.  Film ini bisa dibilang sebagai gerbang masuk bagi saya ke dalam dunia horor asia yang mencengangkan. Sampai sekarang, saya masih menyempatkan diri untuk menonton film ini  jika ingin mendapatkan hiburan ringan sebelum istirahat malam. Ngomong-ngomong, film terbaiknya menurut saya hanya dari yang pertama sampai kelima saja.

Friend (Kwak Kyung-taek, 2001)
Perkenalan saya dengan Friend berawal ketika saya mengunjungi sebuah stand VCD diskon di Carrefour. Sebelumnya saya sama sekali tidak mengetahui kalau Korea Selatan punya industri film yang cukup besar. Ketika itu, berhubung harga VCDnya yang menggiurkan, saya menjadi tertarik untuk membeli film ini tanpa tahu apapun tentangnya, Friend menjadi salah satu film yang sangat berkesan bagi saya. Film yang mengisahkan hubungan persahabatan dari kecil ini, diluar dugaan, dikemas dengan visual yang indah dan cerita dengan gayanya  yang sedikit mengingatkan saya akan film HK yang tidak pernah setengah – setengah dalam menceritakan sebuah kisah tragis.

Serial Experiment Lain (1998)
Oke, ini mungkin bukan seperti film lain di atas, tapi Serial Experiment Lain atau SeLAIN harus saya masukkan ke list ini karena besarnya pengaruh anime ini terhadap saya. Untuk itu, saya harus berterimakasih sebesar-besarnya kepada Animonster yang sudah membahas secara detail anime  ini di salah satu edisinya, dan membuka mata saya bahwa anime Jepang tak hanya sekedar film anak – anak dan hentai saja. Berbicara tentang SeLAIN, anime ini sangat berkesan bagi saya karena perjuangan saya untuk mencari anime ini tidaklah mudah. Waktu itu, internet di Indonesia belum mampu untuk mengunduh serial seperti ini, dan saya pun belum pernah mencari info tentang toko yang menjual serial anime di Jakarta. Tapi perjuangan ini tidak sia – sia, setelah berhasil mendapatkannya, saya dibuat terkagum – kagum dengan konsep ceritanya yang lain daripada yang lain, dan ceritanya yang cukup creepy untuk ukuran sebuah serial animasi. Pada akhirnya, SeLAIN berjasa besar karena memancing saya untuk berkenalan terhadap serial anime alternatif seperti FLCL, Boogiepop Phantom, Haibani Renmei, dan Kino no Tabi.  

Beth (Aria Kusumadewa, 2002)
Saya mengenal film ini lewat guru audio visual saya ketika SMA dulu. Dia membuka film ini dengan kata – kata antusias penuh semangat yang membuat saya bertanya – tanya, “film apa itu Bats, horrorkah ?” Apa yang saya kira sebagai Bats, ternyata adalah Beth, sebuah film independen garapan Aria Kusumadewa yang membuka mata dah hati saya ketika itu. Pada waktu itu, film Indonesia baru saja bangkit, tapi nama – nama yang saya tahu punya tema yang cenderung komersial dan tidak terlalu menarik bagi saya. Karena itu, film yang dibintangi Bucek Depp dan Ine Febriyanti ini membuat saya terkagum – kagum lewat latar rumah sakit jiwanya  dan cerita percintaan yang dipenuhi adegan – adegan “heboh” seperti adegan kecoa yang masih saya ingat sampai sekarang. Saking sukanya dengan Beth, saya menghadiahi pacar saya dengan VCD film ini, walaupun dia sendiri tampaknya tidak begitu tertarik.


Monday, January 31, 2011

Confessions (Tetsuya Nakashima, 2010)

Aaaaahhh indahnya masa sekolah. Saya masih ingat bagaimana pertama kalinya bertengkar di halaman sekolah, menangis ketika agenda saya dirobek oleh seorang guru muda karena lupa mengerjakan PR, atau terangsang ketika dipeluk erat oleh guru cantik yang saya idolakan. Berbicara soal guru, sepertinya murid dan guru sudah menjadi dua elemen yang selalu bertentangan. Setidaknya di jaman saya sekolah dulu. Guru yang terlalu baik, pasti akan dikerjai oleh murid-muridnya, sampai guru tersebut tidak tahan dan terpaksa bertindak galak. Guru yang terlalu kejam pun pasti tak lepas dari cemoohan dan kutukan murid-muridnya. Tak jarang kami melakukan tindakan kecil - kecilan untuk mencemooh guru - guru tersebut, baik secara frontal maupun diam - diam. Dan ketika sudah besar sekarang, saya mulai menyesal pernah melakukan tindakan yang serupa, hei, tapi saya masih remaja waktu itu, dan membenci orang dewasa yang tidak sepaham adalah salah satu hal yang paling mudah dilakukan sebagai pelampiasan atas rasa frustasi dengan berbagai masalah baru yang sebelumnya tidak pernah saya dapatkan.

Hubungan antara orang dewasa dan anak remaja inilah yang juga menjadi salah satu tema penting dalam film terbaru Tetsuya Nakashima, Confessions atau Kokuhaku. Sutradara yang dua film terakhirnya, Kamikaze Girls dan Memories of Matsuko, menampilkan gaya visual yang colorful bahkan cenderung lebay itu kali ini menyalurkan dua ciri khas tersebut ke dalam tema yang jauh lebih gelap dan suram. Jika Matsuko mencoba untuk menetralisir kisah kehidupan yang depresif dengan balutan warna warni lolipop yang ceria, maka sebaliknya, Kokuhaku memilih untuk mendramatisir keadaan lewat gaya slow motion dan warna - warna gelap yang sangat depresif dan muram.

Kokuhaku dibuka dengan suasana sekolah yang gaduh dan ceria, beberapa anak terlihat sedang saling bertukar pesan lewat telepon genggamnya, salah satu anak laki-laki mengisengi temannya dengan melempar bola baseball ke kepalanya. Mereka semua terlihat sedang menikmati sekotak susu. Rupanya waktu itu ada sejumlah sampel susu yang diberikan dalam rangka pengenalan program kesehatan untuk para remaja. Di depan kelas, Yuko Moriguchi (Takako Matsu) sedang berbicara, hampir semua anak menghiraukannya, tapi ia tidak peduli. Mukanya dingin, dan nada bicaranya kaku, ditengah riuh gaduh murid-muridnya, ia menjelaskan kalau hari itu adalah hari terakhirnya mengajar karena ia tidak tahan dengan kelakuan mereka. Seperti yang bisa ditebak, murid-muridnya merespon dengan teriakan bahagia, mencoba untuk mengolok guru mereka yang sudah menderita itu. Lagi - lagi, ibu Moriguchi tidak peduli, ia meneruskan pidato terakhirnya tersebut, dengan berkata tema pelajaran yang akan ia berikan di hari terakhirnya ini adalah tentang kehidupan.

Ia lalu mulai bercerita tentang musibah yang baru saja dihadapinya. Anaknya yang masih berumur 3 tahun ditemukan meninggal di kolam sekolah. Polisi menetapkan kasus tersebut sebagai kecelakaan, tapi ia tahu, ada 2 muridnya yang bertanggung jawab atas kematian anaknya tersebut. Pertama adalah A, murid pintar yang baru - baru ini mendapatkan penghargaan atas penemuannya. A marah karena berita tentang keberhasilannya itu kalah tenar dengan berita pembunuhan massal yang dilakukan seorang murid sekolah dengan inisial Lunacy. Yang kedua, B, seorang murid pendiam yang tidak memiliki banyak teman di sekolahnya, ia pernah mengikuti berbagai ekstrakulikuler olahraga, namun karena tidak berbakat, ia malah dicemooh oleh teman-temannya dan terpaksa keluar dari ekskul tersebut. Ibu Moriguchi tidak menyebutkan nama keduanya, tapi seisi kelas sudah tahu siapa mereka. Di akhir monolognya, ia mengatakan, tidak akan mengadukan kedua murid tersebut ke polisi karena hukum di Jepang yang tidak akan memperlakukan anak di bawah umur sebagai kriminal. Namun, ia berjanji akan membalas dendam, dan sebagai pembukaan, ia memberitahukan bahwa di kotak susu kedua anak tersebut, sudah dikontaminasikan dengan darah kekasihnya yang terjangkit HIV. Seketika, seisi kelaspun berteriak panik.

Begitulah kira - kira adegan awal yang menjadi pembuka drama suram ini. Ketimbang membangun suasana perlahan - lahan, dalam 30 menit awal, Tetsuya Nakashima memilih untuk menggugah emosi penonton lewat monolog sang guru yang dingin. Dalam waktu  setengah jam itu, Nakashima seperti menunjukkan bahwa filmnya kali ini pun tidak berbeda dengan kedua film sebelumnya, setidaknya dari segi visualnya yang tetap cantik. Lewat montasenya yang dirajut seperti sebuah video klip, monolog dingin yang dilontarkan ibu Moriguchi  menjadi tidak membosankan  Format yang terasa seperti sedang mendengarkan curhatan yang sangat pribadi ini memang tak hanya ada dalam 30 menit saja, tapi juga di sepanjang film, demikian pula dengan gaya slow motion dan warna - warna suramnya. Hal ini yang membuat saya agak kelelahan, terutama  ketika sampai pada pertengahan film ini. Gaya yang diulang - ulang ini terasa agak monoton dan membosankan, walaupun harus diakui, visual tersebut memang merupakan salah satu alasan mengapa film ini istimewa.

Kokuhaku sendiri mencoba untuk melihat peristiwa tragis yang dialami ibu Moriguchi lewat berbagai sudut pandang. Dengan menggunakan curhat para karakternya, penonton diajak untuk memahami perubahan karakter para tokohnya yang terguncang akibat kejadian tersebut. Walaupun Ibu Moriguchi hanya mendominasi film di bagian awal dan akhir saja, namun tak pelak lagi, Kokuhaku berpusat pada aksi dan rencana balas dendamnya. Disitulah film ini terasa bermain - main dengan emosi para penontonnya yang sudah dibekali norma sosial yang ditanamkan sejak kecil. Saya merasa digiring untuk mendukung aksi balas dendam sang guru, bahkan berharap ia menghabisi nyawanya namun di sisi lain "musuh" yang dihadapi adalah sekumpulan anak remaja yang belum dewasa pola pikirnya. Ketika Kokuhaku memberi porsi lebih kepada kedua murid tersebut, adegan yang ditampilkan pun juga tidak indah, malah cenderung memperkuat alasan untuk menghabisi mereka. Ya, film ini memberikan alasan bahwa sifat kedua murid tersebut terjadi tak lepas karena perlakuan lingkungan dan orang dewasa kepada mereka, namun di lain pihak, mereka menjadikan alasan tersebut untuk melakukan aksi yang keji dan brutal.

Saya sendiri sebenarnya tidak melihat Kokuhaku sebagai drama psikologis yang berat, mengingat cara Nakashima memperlakukan karakter dan film ini sendiri cenderung masih sebagai sebuah film hiburan dan bahkan menyerempet batas film eksploitasi. Penggambaran karakternya sendiri mungkin belum "dalam" jika dipandang dari sisi psikologisnya. Alasan dan tingkah laku para tokoh, terutama murid murid kelas tersebut, juga terasa terlalu ekstrim dan berlebihan. Namun lewat topik dan ceritanya, film ini berhasil melontarkan sebuah topik atas moralitas yang saya rasa akan direnungkan oleh banyak penontonnya,. Berdiri di antara batas eksploitasi dan mainstream, Kokuhaku pada akhirnya berhasil menjadi sebuah suguhan muram nan indah yang berkesan dan tetap menghibur.  







Monday, January 17, 2011

Dream Home (Ho-Cheung Pang, 2010)

Hong Kong, sejak awal tahun 90an, sudah terkenal di dunia perfilman sebagai negara pengekspor film eksploitasi ternama. Film – film yang dilabeli dengan nama Category III atau Cat III ini, biasanya memiliki ciri khas seperti tema cerita yang muram dan depresif, adegan – adegan sex dan kekerasan yang eksplisit, serta alur cerita yang heboh bahkan menjurus tidak masuk akal. Salah satu contoh film Cat III yang legendaris adalah The Untold Story

Pada awal abad ke 21 ini, film – film jenis Cat III mulai menurun produksinya, walaupun beberapa masih bermunculan, dengan kualitas yang bervariatif, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan masa keemasannya. Di tahun 2010 ini, ditengah arus film banjir darah dari seluruh dunia, Hongkong kembali menunjukkan tajinya dengan menelurkan Dream Home, sebuah film slasher yang kental dengan ciri khas film Cat III-nya.

Dream Home menceritakan tentang perjuangan mendapatkan tempat tinggal impian. Dibuka dengan pemaparan fakta tentang sulit dan mahalnya harga apartemen dan rumah tinggal di Hong Kong, film ini menceritakan tentang perjuangan seorang wanita muda, Lai Sheung (Josie Chan), yang ingin mewujudkan janji masa kecilnya untuk memiliki sebuah tempat tinggal dengan pemandangan ke arah laut. Janjinya ini dipegangnya dengan sangat serius. Ia rela mengambil 2 pekerjaan siang dan malam, menjadi wanita simpanan seorang pria kaya, dan… membunuh… secara brutal. 

Dengan menggunakan alur yang tidak linier, Ho-Cheung Pang merajut cerita dalam film ini ke dalam 2 bagian yang disisipkan secara bergantian. Bagian pertama diisi dengan proses pembunuhan, yang dieksekusi dengan extra brutal, dan bagian kedua yang merupakan cerita tentang kehidupan Lai Sheung, dari flashback kehidupannya semasa kecil, serta perjuangannya mendapatkan flat idaman yang sudah diincarnya. Bagian ini seakan – akan digunakan Pang sebagai pemaparan alasan dan pembenaran atas pembunuhan yang dilakukan Lai Sheung.  Rumah merupakan satu – satunya jalan baginya untuk keluar dari kehidupannya yang menyedihkan. Hal ini mirip dengan pola yang dipakai dalam film – film Cat III terdahulu, kondisi sosial menjadi pembenaran akan pembunuhan sadis yang dilakukan karakter utamanya.

Ho-Cheung Pang, seperti di film – film sebelumnya, kembali menyentil kehidupan sosial masyarakat modern, khususnya di Hong Kong, lewat kehidupan karakter-karakternya yang fucked up. Dialog – dialog satir seperti tentang perselingkuhan, gosip dan aktivitas sex yang tidak lazim, menjadi salah satu highlight  film ini.  Semua aspek itu membuat film slasher ini terasa gendut dan penuh, hal yang membuatnya berbeda dengan film – film berdarah kebanyakan.  Hal ini juga diperkuat dengan sinematografinya yang indah dan berkelas. Penggunaan shallow focus di beberapa  shotnya sangat menarik dan memanjakan mata.

Dream Home dapat menjadi pelampiasan bagi mereka yang rindu dengan masa – masa keemasan film CAT III Hongkong di tahun 90an.  Walaupun akhir – akhir ini, hampir semua negara berlomba – lomba  untuk menampilkan adegan paling “merah” dan berdarah,  film ini bisa tampil beda dengan kemasannya yang lebih berkelas dan menyentuh berbagai sisi emosi penontonnya.  Bagi mereka yang ingin film berdarahnya sedikit lebih berbobot, Dream Home bisa dijadikan salah satu pilihan.

Friday, January 7, 2011

Kado Indah dari Paul Agusta dan Cinema Poetica di Awal 2011

Bagi para Untuk penggemar film horor sadis, brutal, dan berdarah, silahkan bersorak-sorai. Di awal tahun baru ini, Paul Agusta bekerjasama dengan Cinema Poetica memutuskan untuk membagikan secara gratis film debutnya di tahun 2008, Kado Hari Jadi.
Seorang pemuda terbangun di sebuah ruangan kecil berwarna merah muda. Ia dirantai di sebuah kursi terbuat dari besi. Di hadapannya terdapat sebuah silet yang tergantung pada tali, dan disampingnya ada sebatang besi yang mengarahkan sebuah pensil tajam ke mata kirinya. Dia tak tahu dirinya dimana ataupun kenapa dia disekap disitu. Sesekali masuk ke dalam ruangan itu seorang wanita cantik bergaun indah yang mulai menyiksanya secara kejam dan pelan. Siapakah wanita ini? Kenapa dia menyiksa si pemuda? Apakah pemuda itu akan selamat? 
Saya sendiri sudah mengunduh dan berencana untuk menontonnya secepat mungkin. Dilihat sekilas, visual dari film ini mengingatkan saya pada film - film eksploitasi Jepang di akhir tahun 90an dan awal 2000an seperti, Niku Daruma atau Girl Hell 1999. Medium video bisa menjadi keunggulan sendiri dalam film seperti ini karena efek low budget nya justru memberikan nuansa yang lebih mencekam dan mengerikan, karena terasa real.

Kado Hari Jadi bisa diunduh di sini

Ketika Film Softcore pun Berevolusi - 3D Sex and Zen : Extreme Ecstasy

  
Seri S&Z memang merupakan salah satu seri legendaris di dunia perfilman CAT III di sana.Setelah film terakhirnya dirilis pada tahun 1998, di tahun 2011 ini, para pencinta film softcore kemungkinan besar akan dipuaskan kembali dengan kehadiran seri keempatnya, kali ini dalam bentuk 3D!

Berbeda dengan seri sebelumnya yang memakai bintang lokal, S&Z:EE ini dibintangi oleh artis JAV terkenal, Saori Hara dan Yukiko Suo serta disutradarai oleh Christopher Sun Lap Key. Uniknya, One Dollar Production memaparkan mereka akan menerepkan sistem "pick and choose" untuk pendistribusian film ini. Artinya, negara yang akan membeli film ini akan diberikan beberapa pilihan bentuk film yang sudah diedit untuk menyesuaikan dengan budaya di setiap negara yang berbeda-beda.

Akhir - akhir ini, tampaknya beberapa negara Asia, khususnya Jepang dan Hongkong, seperti berlomba - lomba untuk memproduksi film - film softcore dengan kemasan yang berbeda. Dengan gimmick 3D seperti ini, rasanya pasti banyak pria yang tidak sabar untuk cepat-cepat menyaksikan film ini. Masalahnya, apa efek 3D ini bisa tampil sempurna jika diputar di rumah ? ehm, karena saya sepertinya tidak tertarik menonton film jenis ini di bioskop.

PS : Kabarnya akan ada adegan dimana seorang pria harus "memuaskan" 100 wanita secara bergantian, jika itu benar, this movie will totally rocks our pants off! 


Air Doll (Hirokazu Koreeda, 2009)

Nozomi (Doona Bae) adalah sebuah sex doll yang dimiliki oleh seorang pelayan restoran bernama Hideo. Hideo menganggap Nozomi sebagai seorang kekasih, ia merawat dan berbincang dengan Nozomi sepulang kerja dan juga selalu aktif berhubungan seksual dengannya di malam harinya. Suatu pagi, ketika Hideo pergi untuk berangkat kerja, tiba - tiba Nozomi menemukan jiwa dan dapat bergerak bebas layaknya seorang manusia. Nozomi, yang selama ini hanya berada di kamar Hideo, mencoba untuk keluar dan mempelajari tingkah laku kehidupan orang – orang di kota itu. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan seorang karyawan di toko video , Junichi (Arata). Sejak saat itu, setiap harinya, Nozomi bekerja bersama Junichi dan pada malam harinya, ia kembali menjadi boneka untuk memuaskan hasrat pemiliknya.

Secara sekilas, cerita semacam ini mungkin terdengar seperti plot yang biasa dipakai dalam film – film “dewasa”. Namun, Koreeda memanfaatkan plot tersebut untuk menyampaikan kegelisahannya akan kehidupan manusia modern yang terlihat dingin, individualis, dan muram. Nozomi, sebagai sebuah boneka yang pada awalnya sangat bersemangat untuk menjalani kehidupan barunya, menjadi simbol dari sesuatu yang polos dan murni yang akhirnya dikontaminasi dan dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat disekitarnya . Pola pikir dan pandangan Nozomi akan kehidupan yang sebelumnya serba indah ini mulai berubah ketika Nozomi berinteraksi dengan berbagai macam karakter dalam film ini, yang masing – masing mewakili berbagai jenis manusia dan permasalahannya.

Walaupun secara tema, film ini cukup berat, namun keputusan Koreeda untuk memasukkannya ke dalam bentuk sebuah dongeng, membuat film ini menjadi tidak terasa melelahkan. Hal ini juga tidak lepas dari akting Doona Bae yang berperan sebagai Nozomi. Lewat matanya yang lebar serta mimik mukanya yang kekanak-kanakan dan ekspresif, aktris Korea Selatan ini mampu memikat hati para penontonnya dan sekaligus menambahkan unsur komikal ke dalam film ini. Selain itu, perpaduan antara sinematografi indah yang digarap oleh Pin Bing Lee beserta musik latar milik World End’s Girlfriend yang dreamy terasa begitu pas sehingga dapat memanjakan mata dan telinga kita sepanjang film ini.

Air Doll merupakan salah satu terbaik yang dihasilkan oleh Jepang sepanjang tahun 2009 kemarin, Koreeda berhasil merangkai suatu dongeng indah dan mencekam, sekaligus mempertanyakan eksistensi manusia beserta hubungannya dengan sekelilingnya. Kegelisahan Koreeda tersebut dapat disimpulkan lewat salah satu narasi yang disampaikan oleh Nozomi dalam film ini “Life contains its own absence, which only an Other can fulfill. It seems the world is the summation of Others, and yet we neither know nor are told that we will fulfill each other. We lead our scattered lives, perfectly unaware of each other or at times allowed to find the Other’s presence disagreeable. Why is it that the world is constructed so loosely?


Retribution (Kiyoshi Kurosawa, 2006)

HAH ? Mungkin itu adalah reaksi sebagian besar orang yang menonton Retribution, bagaimana tidak, lewat gaya penceritaan dan plotnya yang rumit, penonton diajak memutar otak untuk memecahkan misteri kasus pembunuhan bernuansa misteri dalam film ini, yang pada akhirnya justru diselesaikan dengan ending yang jauh lebih membingungkan lagi dan membuat kita bertanya – tanya, “Jadi ini film mau bilang apa yah ?” Kiyoshi Kurosawa memang terkenal dengan gaya penceritaannya yang simbolis dan membingungkan, karena dari itu tidak salah bila banyak yang mengatakan kalau karya sutradara yang satu ini hanya bisa dinikmati oleh orang – orang dengan selera tertentu saja.

Retribution sendiri memiliki nuansa yang kental mirip dengan karya – karya Kurosawa lainnya, dari alur penceritaannya yang lambat, adegan – adegan simbolis yang membingungkan, serta suasana film yang gloomy dan terkesan dingin. Film ini dimulai dengan adegan wanita berbaju merah, yang dibunuh secara kejam oleh seorang pria misterius. Adegan kemudian berganti menampilkan seorang detektif setengah baya bernama Noburo Yoshioka (Koji Yakusho). Yang terbangun dari tidurnya karena gempa bumi yang cukup besar. Noburo adalah detektif yang menangani kasus pembunuhan misterius tersebut. Wanita misterius berbaju merah itu, ditemukan tewas secara mengenaskan di sebuah lahan luas yang rencananya akan didirikan apartemen. Anehnya, ketika akan dipindahkan ke dalam ambulans, dari dalam mulut wanita tersebut keluar sejumlah besar air laut.

Pembunuhan dengan metode serupa ternyata bukan yang pertama kalinya terjadi di kota itu, karena itu kepolisian menduga bahwa ada seorang pembunuh berantai yang sedang berkeliaran di kota. Anehnya, benda – benda milik Noburo mulai hilang secara misterius dan selalu ditemukan di lokasi kejadian. Misteri dalam film ini menjadi semakin pekat setelah Noburo dihantui oleh sosok wanita korban pembunuhan tersebut. Dalam penampakannya, ia selalu mengatakan kalau Noburo telah membunuh dia.

Melihat sinopsis pendek di atas, tidak ada salahnya kalau kita beranggapan bahwa ini adalah film thriller bernuansa horror yang biasa saja. Cerita semacam ini memang bukanlah suatu hal yang baru lagi. Namun, seperti sebuah gunung es, sinopsis diatas hanyalah sebagian kecil dari apa yang ingin disampaikan Kurosawa dalam film ini. Inilah yang membuat karya Kurosawa sering salah diinterpretasikan oleh penontonnya. Pola pikir penonton yang di awal film sudah diarahkan di posisi tertentu, seringkali diputarbalikkan oleh Kurosawa sehingga di akhir film, penonton dibuat pusing dan bahkan sampai kecewa. Seringkali, pesan – pesan Kurosawa lebih banyak tersirat dalam dialog para karakter dan juga visualisasi adegannya. Karena itu, kita dituntut untuk cermat untuk mengetahui secara lebih detail apa yang sebenarnya ingin disampaikan dalam film yang dibuatnya.

Retribution sendiri bisa dibilang adalah perpaduan dari dua karya masterpiecenya, film ini merupakan gabungan dari misteri dengan detektif sebagai tokoh sentral ala Cure dan horor kelam ala Pulse. Sama seperti Pulse, Retribution mengambil setting di kota Tokyo yang digambarkan berubah menjadi kota industri yang dingin dan kelam. Tokyo dalam film ini adalah kota yang muram yang keruh, berbanding terbalik dengan penampilan hantu wanita yang memakai pakaian berwarna merah menyala.

Jika dibandingkan dengan film – film Kurosawa sebelumnya, film ini mungkin termasuk salah satu filmnya yang paling membingungkan. Namun, film ini juga termasuk salah satu film terindah yang pernah dibuat olehnya. Jadi, bila anda ingin menikmati sebuah karya seni yang atmospheric, indah, puitis dan tentu saja, menantang, maka karya kurosawa ini bisa masuk menjadi salah satu daftar film yang harus anda tonton. Apalagi, baru – baru ini sudah ada distributor dvd lokal yang berani membawa film ini ke Indonesia. Selamat menonton dan bersiaplah untuk terhipnotis oleh dunia kelam nan indah ala Kiyoshi Kurosawa.


Instant Swamp (Satoshi Miki, 2009)

Hidup itu berat! Itulah keluhan sebagian besar manusia di jaman modern ini. Semakin bertambahnya usia planet kita yang tercinta ini, semakin bertambah rumit juga kehidupan manusia di dalamnya. Setelah sukses dengan Adrift in Tokyo, Satoshi Miki kali ini kembali menghadirkan suguhan komikal dengan gaya komedinya yang khas. Dalam filmnya yang ke-7 ini, ia tampaknya ingin menggambarkannya bagaimana sebuah kehidupan dapat terlihat berbeda tergantung bagaimana kita memandang dan menyikapinya. Sama halnya seperti sebuah roller coaster, setiap tanjakan dan turunan, pasti mengundang reaksi yang berbeda- beda dari setiap penumpangnya.

Mari kita bertemu dengan Haname Jinchoge (Kumiko Aso), seorang wanita dengan sifat hiperaktif yang luar biasa. Dalam narasinya di pembuka film, ia menceritakan dengan cepat bagaimana membosankannya kehidupan dan pekerjaannya yang monoton, sebagai sebuah editor majalah wanita yang penjualannya tidak begitu baik. Salah satu cara yang dilakukannya agar tidak depresi adalah memulai hari dengan menyeruput 10 sendok makan bubuk Milo yang dicampur dengan 12cc susu putih. Ia menamakannya Milo's Sludge. Satu lagi, Haname tidak percaya pada hantu, namun ia yakin kalau hidupnya menderita karena dikutuk oleh jimat kucing hitam yang dibuangnya ke lumpur pada waktu kecil.

Ibu Haname, Midori Jinchoge (Keiko Matsuzaka), juga tidak kalah anehnya, ia percaya ada kappa, makhluk mitologi Jepang yang tinggal di sekitar danau, yang hidup di halaman belakang rumahnya. Dan, untuk meyakinkan Haname kalau peri air itu benar-benar ada, ia lalu mencoba untuk menangkap peri air di sebuah danau dengan menggunakan alat pancing dan timun. Malangnya, ia tenggelam dan terbaring koma di rumah sakit. Dari polisi yang menangani kasus tenggelamnya ibu Haname, ia mendapat info tentang sebuah kotak pos yang ditemukan tenggelam di danau yang sama. Anehnya, di dalam kotak tersebut, terdapat surat dari ibunya kepada seorang pria bernama Noburo Jinchoge (Morio Kazama), seorang pemilik toko barang antik, yang isinya menjelaskan kalau Haname merupakan anak dari pria tersebut. Surat tersebut menjadi awal dari petualangan baru Haname untuk mencari dan mengenal lebih jauh tentang keberadaan ayahnya itu.

Instant Swamp tidak diragukan lagi merupakan sebuah film yang sangat menyenangkan. Dengan mengandalkan karakter-karakternya yang bertingkah laku aneh, film ini memaparkan sebuah kehidupan di dunia modern, dengan taburan bumbu fantasi, selama kurang lebih 2 jam. Penggabungan kedua dunia ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, Jean-Pierre Jeunet sering melakukan hal serupa dalam film – filmnya. Bedanya, Satoshi Miki membawa film ini ke dalam bentuk cerita yang terkesan acak. Cara bercerita yang random ini, sayangnya, dapat membuat kita menjadi sulit untuk mencerna pesan yang ingin disampaikan sang sutradara. Tampaknya Satoshi Miki sadar akan hal itu, dan menyisipkan semacam kesimpulan dari pesan film tersebut lewat monolog singkat Haname di akhir cerita. Di sisi lain, gaya random ini juga merupakan salah satu kekuatan dari Instant Swamp. Keliaran plotnya membuat film ini sulit ditebak dan terasa lebih menyenangkan. Gaya melucu film ini yang cenderung “kering” juga menjadi nilai plus tersendiri bagi Instant Swamp, hal ini dapat dilihat dari cara berdialog beberapa karakternya yang cenderung serius, walaupun kata-kata dan cara berpakaian yang ditampilkan cenderung nyeleneh dan kocak.

Lewat akting para pemainnya yang pas, serta gaya bercerita yang imajinatif dan cenderung liar, Instant Swamp merupakan suatu film komedi khas Jepang yang cukup menghibur dan menyenangkan. Bagi mereka yang mengharapkan mendapatkan pencerahan, mungkin akan sedikit kecewa, walapun begitu, film ini tetap cocok dijadikan hiburan bagi mereka yang ingin mencari pelarian sejenak dari kehidupan nyata yang semakin hari semakin terasa melelahkan.