Wednesday, February 9, 2011

Los Bastardos (Amat Escalante, 2008)

Kehidupan para imigran ditengah perjuangannya untuk bertahan hidup di "tanah impian" Amerika Serikat memang selalu menarik untuk diangkat dalam berbagai media. Dalam filmnya yang kedua ini, Amat Escalante mencoba untuk memaparkan gambaran kehidupan dua orang imigran asal Mexico yang dalam kesehariannya menawarkan diri di samping trotoar untuk menunggu pekerjaan yang datang di hari itu. Kali ini, Jesus (Jesus Moires Rodriguez), pria berusia sekitar 30an yang pendiam dan Fausto,  (Ruben Sosa) seorang remaja tanggung, mendapatkan pekerjaan yang berbeda. Hari ini di tas punggung milik Jesus, tersimpan sebuah shotgun hitam untuk pekerjaannya malam nanti.

Dibuka dengan shot statis berdurasi panjang yang secara perlahan menampilkan kedua tokoh utama tersebut, kita kemudian disuguhkan dengan aktivitas para imigran yang menjajakan dirinya untuk mendapatkan perkerjaan di hari itu. Setelah beberapa lama menunggu, Jesus dan Fausto akhirnya mendapatkan panggilan. Mereka dan beberapa imigran lain diminta untuk bekerja di sebuah lahan konstruksi. Setelah bernegosiasi sebentar soal upah per jam mereka, si pemberi kerja pun akhirnya setuju untuk membayar $10 untuk tiap jamnya.. Selesai bekerja, Jesus dan Fausto memutuskan untuk bersantai sebentar di taman kota. Di sana, mereka bertemu dengan sekelompok pemuda mabuk yang mengolok - olok mereka. Fausto sempat emosi dan ingin menghajar mereka, namun Jesus menahannya dan mengingatkan, mereka punya pekerjaan besar nanti malam.

Sampai di situ, fokus film mendadak berubah ke dalam kehidupan sebuah single mother, Karen (Nina Zavarin) dan anak remajanya yang cuek. Sang ibu yang tidak tahu harus berbuat apa menghadapi kelakuan anak laki-lakinya tersebut, bergantung pada kebiasaannya memakai obat-obatan sambil menonton TV hingga tertidur pulas. Ia tak menyadari, dari jendela belakang rumahnya, dua orang pemuda perlahan - lahan masuk untuk menyelesaikan pekerjaannya di malam itu.

Sejak awal kariernya di dunia film, Amat Escalante memang sudah berniat untuk berfokus pada isu imigrasi dalam film - filmnya. Lewat gaya ultra minimalis yang sudah diusungnya dari film pertama, Sangre, sang sutradara tampaknya ingin mencoba untuk membuat suatu rekaan realitas dengan Jesus dan Fausto yang mewakili gambaran perjuangan para imigran untuk dapat hidup sejahtera di "tanah impian" tersebut. Persepsi rakyat Amerika terhadap para imigran yang tingkat ekonominya di bawah rata-rata hampir semuanya sama, mereka memandang para imigran seperti calon pelaku kriminal. Tetapi dalam Los Bastardos, sang sutradara mencoba menggambarkan mereka sebagai manusia yang hanya ingin bertahan hidup, dan bertindak kriminal karena terdesak dengan keadaan. Ketika Jesus dan Fausto menginvasi rumah Karen, hal pertama yang dilakukannya bukan mengambil barang berharga, melainkan mencoba untuk merasakan nikmatnya kehidupan kelas atas dengan memakan makanan mereka, duduk di sofa, berenang di kolam renang mewah, dan juga memainkan videogame sambil menyantap snack milik mereka.

Persepsi menjadi salah satu modal utama sang sutradara untuk menimbulkan kengerian dalam Los Bastardos. Tanpa musik latar, pengambilan gambar yang minim pergerakan dan tempo yang sangat lambat, Amat Escalante seakan - akan ingin membangun momentum secara perlahan, membiarkan para penontonnya menebak-nebak dan di saat mereka lengah, menghantamnya dengan sebuah adegan brutal yang  mengejutkan. Berbeda dengan film - film lain yang biasanya menghias cerita dengan teknik editing, suara dan visual, film ini menghantarkan cerita secara "telanjang" dan dingin. Kebanyakan dialog dilakukan secara spontan, dan hampir tidak ada musik yang mengiringi sepanjang film, yang ada hanya shot - shot minimalis yang dibingkai secara indah. Teknik seperti ini mengingatkan saya dengan film - film karya Michael Haneke dan Bruno Dumont. Gaya dokumenter dengan tempo yang sangat lambat ini mungkin sedikit menyiksa bagi yang belum terbiasa. Namun saya justru merasa gaya seperti ini dirangkai secara efektif untuk membangun ketegangan sebelum klimaksnya yang sangat mengejutkan. Gaya seperti ini pulalah yang membuat Los Bastardos terasa sangat depresif dan dingin.

Ketimbang memberikan pencerahan, Amat Escalante tampaknya lebih tertarik untuk memaparkan realita kehidupan secara gamblang untuk membuka mata kita tentang kondisi sosial di Amerika Serikat yang memprihatinkan.  Aura depresif dan pesimistis yang menyelimut film ini memang terasa begitu pekat sampai di akhir cerita. setelah credit title berputar, Los Bastardos pun seakan - akan seperti memancing para penontonnya untuk merenungi dan bertanya, "siapakah yang sebenarnya bersalah dan harus bertanggung jawab dalam masalah ini ? " 

No comments:

Post a Comment