Monday, January 31, 2011

Confessions (Tetsuya Nakashima, 2010)

Aaaaahhh indahnya masa sekolah. Saya masih ingat bagaimana pertama kalinya bertengkar di halaman sekolah, menangis ketika agenda saya dirobek oleh seorang guru muda karena lupa mengerjakan PR, atau terangsang ketika dipeluk erat oleh guru cantik yang saya idolakan. Berbicara soal guru, sepertinya murid dan guru sudah menjadi dua elemen yang selalu bertentangan. Setidaknya di jaman saya sekolah dulu. Guru yang terlalu baik, pasti akan dikerjai oleh murid-muridnya, sampai guru tersebut tidak tahan dan terpaksa bertindak galak. Guru yang terlalu kejam pun pasti tak lepas dari cemoohan dan kutukan murid-muridnya. Tak jarang kami melakukan tindakan kecil - kecilan untuk mencemooh guru - guru tersebut, baik secara frontal maupun diam - diam. Dan ketika sudah besar sekarang, saya mulai menyesal pernah melakukan tindakan yang serupa, hei, tapi saya masih remaja waktu itu, dan membenci orang dewasa yang tidak sepaham adalah salah satu hal yang paling mudah dilakukan sebagai pelampiasan atas rasa frustasi dengan berbagai masalah baru yang sebelumnya tidak pernah saya dapatkan.

Hubungan antara orang dewasa dan anak remaja inilah yang juga menjadi salah satu tema penting dalam film terbaru Tetsuya Nakashima, Confessions atau Kokuhaku. Sutradara yang dua film terakhirnya, Kamikaze Girls dan Memories of Matsuko, menampilkan gaya visual yang colorful bahkan cenderung lebay itu kali ini menyalurkan dua ciri khas tersebut ke dalam tema yang jauh lebih gelap dan suram. Jika Matsuko mencoba untuk menetralisir kisah kehidupan yang depresif dengan balutan warna warni lolipop yang ceria, maka sebaliknya, Kokuhaku memilih untuk mendramatisir keadaan lewat gaya slow motion dan warna - warna gelap yang sangat depresif dan muram.

Kokuhaku dibuka dengan suasana sekolah yang gaduh dan ceria, beberapa anak terlihat sedang saling bertukar pesan lewat telepon genggamnya, salah satu anak laki-laki mengisengi temannya dengan melempar bola baseball ke kepalanya. Mereka semua terlihat sedang menikmati sekotak susu. Rupanya waktu itu ada sejumlah sampel susu yang diberikan dalam rangka pengenalan program kesehatan untuk para remaja. Di depan kelas, Yuko Moriguchi (Takako Matsu) sedang berbicara, hampir semua anak menghiraukannya, tapi ia tidak peduli. Mukanya dingin, dan nada bicaranya kaku, ditengah riuh gaduh murid-muridnya, ia menjelaskan kalau hari itu adalah hari terakhirnya mengajar karena ia tidak tahan dengan kelakuan mereka. Seperti yang bisa ditebak, murid-muridnya merespon dengan teriakan bahagia, mencoba untuk mengolok guru mereka yang sudah menderita itu. Lagi - lagi, ibu Moriguchi tidak peduli, ia meneruskan pidato terakhirnya tersebut, dengan berkata tema pelajaran yang akan ia berikan di hari terakhirnya ini adalah tentang kehidupan.

Ia lalu mulai bercerita tentang musibah yang baru saja dihadapinya. Anaknya yang masih berumur 3 tahun ditemukan meninggal di kolam sekolah. Polisi menetapkan kasus tersebut sebagai kecelakaan, tapi ia tahu, ada 2 muridnya yang bertanggung jawab atas kematian anaknya tersebut. Pertama adalah A, murid pintar yang baru - baru ini mendapatkan penghargaan atas penemuannya. A marah karena berita tentang keberhasilannya itu kalah tenar dengan berita pembunuhan massal yang dilakukan seorang murid sekolah dengan inisial Lunacy. Yang kedua, B, seorang murid pendiam yang tidak memiliki banyak teman di sekolahnya, ia pernah mengikuti berbagai ekstrakulikuler olahraga, namun karena tidak berbakat, ia malah dicemooh oleh teman-temannya dan terpaksa keluar dari ekskul tersebut. Ibu Moriguchi tidak menyebutkan nama keduanya, tapi seisi kelas sudah tahu siapa mereka. Di akhir monolognya, ia mengatakan, tidak akan mengadukan kedua murid tersebut ke polisi karena hukum di Jepang yang tidak akan memperlakukan anak di bawah umur sebagai kriminal. Namun, ia berjanji akan membalas dendam, dan sebagai pembukaan, ia memberitahukan bahwa di kotak susu kedua anak tersebut, sudah dikontaminasikan dengan darah kekasihnya yang terjangkit HIV. Seketika, seisi kelaspun berteriak panik.

Begitulah kira - kira adegan awal yang menjadi pembuka drama suram ini. Ketimbang membangun suasana perlahan - lahan, dalam 30 menit awal, Tetsuya Nakashima memilih untuk menggugah emosi penonton lewat monolog sang guru yang dingin. Dalam waktu  setengah jam itu, Nakashima seperti menunjukkan bahwa filmnya kali ini pun tidak berbeda dengan kedua film sebelumnya, setidaknya dari segi visualnya yang tetap cantik. Lewat montasenya yang dirajut seperti sebuah video klip, monolog dingin yang dilontarkan ibu Moriguchi  menjadi tidak membosankan  Format yang terasa seperti sedang mendengarkan curhatan yang sangat pribadi ini memang tak hanya ada dalam 30 menit saja, tapi juga di sepanjang film, demikian pula dengan gaya slow motion dan warna - warna suramnya. Hal ini yang membuat saya agak kelelahan, terutama  ketika sampai pada pertengahan film ini. Gaya yang diulang - ulang ini terasa agak monoton dan membosankan, walaupun harus diakui, visual tersebut memang merupakan salah satu alasan mengapa film ini istimewa.

Kokuhaku sendiri mencoba untuk melihat peristiwa tragis yang dialami ibu Moriguchi lewat berbagai sudut pandang. Dengan menggunakan curhat para karakternya, penonton diajak untuk memahami perubahan karakter para tokohnya yang terguncang akibat kejadian tersebut. Walaupun Ibu Moriguchi hanya mendominasi film di bagian awal dan akhir saja, namun tak pelak lagi, Kokuhaku berpusat pada aksi dan rencana balas dendamnya. Disitulah film ini terasa bermain - main dengan emosi para penontonnya yang sudah dibekali norma sosial yang ditanamkan sejak kecil. Saya merasa digiring untuk mendukung aksi balas dendam sang guru, bahkan berharap ia menghabisi nyawanya namun di sisi lain "musuh" yang dihadapi adalah sekumpulan anak remaja yang belum dewasa pola pikirnya. Ketika Kokuhaku memberi porsi lebih kepada kedua murid tersebut, adegan yang ditampilkan pun juga tidak indah, malah cenderung memperkuat alasan untuk menghabisi mereka. Ya, film ini memberikan alasan bahwa sifat kedua murid tersebut terjadi tak lepas karena perlakuan lingkungan dan orang dewasa kepada mereka, namun di lain pihak, mereka menjadikan alasan tersebut untuk melakukan aksi yang keji dan brutal.

Saya sendiri sebenarnya tidak melihat Kokuhaku sebagai drama psikologis yang berat, mengingat cara Nakashima memperlakukan karakter dan film ini sendiri cenderung masih sebagai sebuah film hiburan dan bahkan menyerempet batas film eksploitasi. Penggambaran karakternya sendiri mungkin belum "dalam" jika dipandang dari sisi psikologisnya. Alasan dan tingkah laku para tokoh, terutama murid murid kelas tersebut, juga terasa terlalu ekstrim dan berlebihan. Namun lewat topik dan ceritanya, film ini berhasil melontarkan sebuah topik atas moralitas yang saya rasa akan direnungkan oleh banyak penontonnya,. Berdiri di antara batas eksploitasi dan mainstream, Kokuhaku pada akhirnya berhasil menjadi sebuah suguhan muram nan indah yang berkesan dan tetap menghibur.  







No comments:

Post a Comment